Detail Cantuman
 
 
 
Kembali ke Daftar >
 
 
 
 
   
"Lewat pementasan Langit Hitam karya Taufik Ismail di kampus Fakultas Psikologi Ul, 1966, saya dipertemukan dengan Steve oleh Arief Budiman, senior kami di kampus waktu itu. Steve rupanya terkesan. Dan mengajak saya bermain dalam pementasannya mendatang. Teater Populer belum didirikan waktu itu. Kami cepat akrab, karena Steve termasuk orang yang mudah bergaul. Dan rupanya saya pun cocok. Dan itu membawa saya terlibat lebih jauh lagi dalam kegiatan berteater sampai berdirinya Teater Populer. Saya ingat kami memulai dengan apa adanya. Tidak formil. Modalnya cuma semangat. Dari awal Steve sudah menanamkan bahwa kesadaran kita memilih kegiatan teater karena sudah menjadi suatu kebutuhan. Dan spirit ini terus ditumbuhkan dan dipelihara. Saya kira karena inilah Teater Populer masih terus hidup dan para anggotanya meski sudah mandiri tetap punya satu ikatan yang kuat. Pertumbuhan Teater Populer ibarat pertumbuhan sebuah pasar tradisional yang tumbuh berdasarkan kebutuhan lingkungannya. la tercipta karena masyarakatnya. Beda dengan pasar modern yang dibuat dulu baru dicari orang-orang yang mau mengisinya. Teater Populer bisa terus terpelihara karena ada ikatan batin yang kuat yang sudah ditanamkan dari awal pertumbuhannya oleh Steve. Teater Populer dan Steve rasanya tak mungkin dipisah-pisahkan. Bila ada yang menilai bahwa Steve itu orang konsisten, bagi saya justru sebaliknya, ia tidak konsisten. Namun ini pengertiannya positip. Begini, bila datang sebuah ide, perkembangannya dalam kepala Steve itu cepat sekali. Hanya dalam waktu yang singkat bisa terjadi beberapa kali perubahan. Sekarang dia bisa bilang begini, tapi nanti sudah berubah jadi begitu. Ini terjadi karena ia begitu responsif. Bagi yang tidak kenal dia bisa terkaget-kaget melihat gaya Steve ini. Mungkin juga karena ia orang yang sangat peka. Tapi menurut saya, ini terjadi karena Steve sangat kreatif. Sering terjadi, orang belum sempat memahami ide yang baru disodorkan tiba-tiba Steve sudah berubah lagi. la memang selalu berjalan lebih cepat. Dan ditambah kepekaannya tadi, hal-hal kecil saja cepat merangsang Steve. Menurut saya seharusnya Steve itu sudah jadi Profesor. Betul, karena ia sangat kreatif. Steve bagi saya sudah seperti ayah, sahabat selain tentu saja guru. Dalam hubungan ayah dan anak ini tak jarang kami sering bentrok. Berkali-kali saya marah, kesal, ngambek karena tidak suka melihat tingkahnya atau melihat cara dia memperlakukan kami anak-anaknya. Namun, terus terang bentrokan macam itu tidak pernah membuat kami jadi saling benci. Biasanya setelah itu hubungan makin dinamis. Saya sering dibuatnya jengkel tapi tidak pernah membenci Steve. Sejengkel-jengkel saya terhadapnya tetap saja ia ayah tercinta.
"
 
 Sylvia Nainggolan Widiantono (Aktris)
Sumber :
Sinematek Indonesia 
 
 
 
Kembali ke Daftar >
 
 
 
Pemutakhiran

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Jl. Salemba Raya 28A Kotak Pos 3624
Jakarta 10002 - Indonesia

Jam Layanan

Senin - Jumat : 09.00 - 15.00 (WIB)

Kontak Kami

(021) 929 209 79
(021) 392 7919; (021) 319 084 79 (fax)
info@perpusnas.go.id

Pernyataan Privasi | Ketentuan Penggunaan

Anda pengunjung ke 1057156 sejak 27 Oktober 2009

©2015 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia